Curahan Hati Paus Fransiskus Post Kunjungan Apostoliknya di Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura
๐๐ฎ๐ซ๐๐ก๐๐ง ๐๐๐ญ๐ข ๐๐๐ฎ๐ฌ ๐ ๐ซ๐๐ง๐ฌ๐ข๐ฌ๐ค๐ฎ๐ฌ ๐๐จ๐ฌ๐ญ ๐๐ฎ๐ง๐ฃ๐ฎ๐ง๐ ๐๐ง ๐๐ฉ๐จ๐ฌ๐ญ๐จ๐ฅ๐ข๐ค๐ง๐ฒ๐ ๐๐ข ๐๐ง๐๐จ๐ง๐๐ฌ๐ข๐, ๐๐๐ฉ๐ฎ๐ ๐๐ฎ๐ ๐ข๐ง๐ข, ๐๐ข๐ฆ๐จ๐ซ ๐๐๐ฌ๐ญ๐ ๐๐๐ง ๐๐ข๐ง๐ ๐๐ฉ๐ฎ๐ซ๐ ๐๐๐ฅ๐๐ฆ ๐๐ฎ๐๐ข๐๐ง๐ฌ๐ข ๐๐ฆ๐ฎ๐ฆ, ๐๐ ๐๐๐ฉ๐ญ๐๐ฆ๐๐๐ซ ๐๐๐๐.
Katekese. Perjalanan Apostolik ke Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura
Saudara dan saudari yang terkasih, Selamat Pagi!
Hari ini saya akan berbicara tentang Perjalanan Apostolik yang saya lakukan ke Asia dan Oseania. Disebut Perjalanan Apostolik karena ini bukanlah sebuah perjalanan wisata, ini adalah sebuah perjalanan untuk membawa Sabda Tuhan, untuk membuat Tuhan dikenal, juga untuk mengenal jiwa-jiwa bangsa-bangsa. Dan ini sangat indah.
Paulus VI, pada tahun 1970, adalah Paus pertama yang terbang menjemput matahari terbit, dengan perjalanan yang panjang di Filipina dan Australia, dan juga ia singgah di beberapa negara Asia dan Samoa. Dan itu adalah perjalanan yang tak terlupakan. Tetapi Paus yang pertama kali meninggalkan Vatikan adalah Santo Yohanes XXIII yang pergi dengan kereta api ke Asisi; kemudian Santo Paulus VI melakukan hal yang sama: sebuah perjalanan yang tak terlupakan! Dalam hal ini juga saya mencoba mengikuti teladannya, tetapi, dengan beberapa tahun yang lebih lama, dan saya membatasi diri saya pada empat negara: Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura. Saya berterima kasih kepada Tuhan, yang mengizinkan saya melakukan kunjungan ini sebagai seorang Paus yang sudah tua, yang sebenarnya ingin saya lakukan sebagai seorang Yesuit muda dulu, karena saya ingin pergi bermisi ke sana!
Refleksi pertama yang muncul secara alami setelah perjalanan ini adalah bahwa dalam berpikir tentang Gereja, kita masih terlalu Eropa- sentris, atau, seperti yang mereka katakan, ‘ke-Barat-an’. Namun pada kenyataannya, Gereja jauh lebih besar, jauh lebih besar daripada Roma dan Eropa, jauh lebih besar, dan – bolehkah saya katakan – jauh lebih hidup, di negara-negara tersebut. Saya telah mengalami hal ini dengan cara yang menarik ketika bertemu dengan Komunitas-komunitas tersebut, mendengarkan kesaksian para imam, biarawati, umat awam, terutama para katekis โ para katekis adalah mereka yang melakukan evangelisasi – Gereja yang tidak melakukan proselitisasi, tetapi bertumbuh karena ‘daya tarik’, seperti yang dikatakan dengan bijak oleh Paus Benediktus XVI.
Di Indonesia, jumlah umat Kristen sekitar 10%, dan jumlah umat Katolik adalah 3%, umat minoritas. Namun yang saya jumpai adalah Gereja yang hidup dan dinamis, yang mampu menghidupi dan mewartakan Injil di negara itu, yang memiliki budaya yang sangat luhur, yang cenderung menyelaraskan keragaman, dan pada saat yang sama memiliki jumlah umat Muslim terbesar di dunia. Dalam konteks ini, saya mendapat penegasan bahwa belas kasih adalah jalan yang dapat dan harus dilalui oleh umat Kristiani untuk menyaksikan Kristus Sang Juruselamat dan pada saat yang sama bertemu dengan tradisi-tradisi agama dan budaya yang luhur. Mengenai belas kasih, janganlah kita melupakan tiga karakteristik Tuhan: kedekatan, kerahiman dan belas kasihan. Tuhan itu dekat, Tuhan itu rahim, dan Tuhan itu berbelas kasih. Jika seorang Kristen tidak memiliki belas kasihan, ia tidak ada gunanya. โIman, persaudaraan, belas kasihโ adalah moto dari kunjungan saya ke Indonesia: dengan kata-kata ini Injil masuk setiap hari, secara konkret, ke dalam kehidupan orang-orang disana, menyambut mereka dan memberi mereka rahmat Yesus yang telah wafat dan bangkit kembali. Kata-kata ini seperti sebuah jembatan, seperti terowongan bathin yang menghubungkan Katedral Jakarta dengan Masjid terbesar di Asia. Di sana saya melihat bahwa persaudaraan adalah masa depan, ini adalah jawaban atas anti-keberadaban, atas rencana jahat kebencian dan perang, bahkan sektarianisme. Ada persaudaraan, ada persaudaraan disana.
Keindahan Gereja yang misioner, Gereka yang bergerak โkeluarโ, saya temukan di Papua Nugini, sebuah negara kepulauan yang membentang ke Samudra Pasifik yang luas. Di sana, kelompok-kelompok etnis yang berbeda berbicara dengan lebih dari delapan ratus bahasa: sebuah lingkungan yang ideal bagi Roh Kudus, yang suka membuat pesan Kasih bergema dalam simfoni bahasa-bahasa. Yang dilakukan Roh Kudus bukanlah keseragaman, melainkan simfoni, harmoni, Dia adalah ‘pelindung’, Dia adalah pemimpin harmoni. Di sana, dengan cara yang khusus, yang menjadi protagonis adalah para misionaris dan katekis. Saya sangat senang dapat menghabiskan waktu bersama para misionaris dan katekis masa kini; dan saya tergerak untuk mendengarkan lagu-lagu dan musik dari kaum muda: di dalam diri mereka saya melihat masa depan yang baru, tanpa kekerasan kesukuan, tanpa ketergantungan, tanpa penjajahan ideologi dan ekonomi; masa depan persaudaraan dan kepedulian terhadap lingkungan alam yang indah. Papua Nugini dapat menjadi โlaboratoriumโ dari model perkembangan integral ini, yang digerakkan oleh โragiโ Injil. Karena tidak ada kemanusiaan yang baru tanpa laki-laki dan perempuan yang baru, dan ini hanya diciptakan oleh Tuhan. Dan saya juga ingin menyebutkan kunjungan saya ke Vanimo, di mana para misionaris berada di antara hutan dan laut. Mereka pergi ke hutan untuk mencari suku-suku yang paling tersembunyi… Sebuah kenangan yang indah.
Kekuatan misi kemanusiaan dan sosial dari pesan Injil menonjol dengan cara yang istimewa dalam sejarah Timor Leste. Di sana, Gereja telah berbagi proses kemerdekaan dengan semua orang, selalu mengorientasikannya pada perdamaian dan rekonsiliasi. Ini bukan soal ideologisasi iman, tidak, ini adalah iman yang menjadi budaya dan pada saat yang sama mencerahkan, memurnikan dan mengangkatnya. Inilah sebabnya mengapa saya menyampaikan kembali hubungan yang baik antara iman dan budaya, yang telah menjadi fokus dari Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya. Iman harus diinkulturasi dan budaya harus diinjili. Iman dan budaya. Namun di atas semua itu, saya terpesona oleh keindahan bangsa ini: bangsa yang diuji namun penuh sukacita, bangsa yang bijaksana dalam penderitaan. Sebuah bangsa yang tidak hanya menghasilkan begitu banyak anak – ada lautan anak-anak, begitu banyak! -tetapi juga mengajarkan mereka untuk tersenyum. Saya tidak akan pernah melupakan senyum anak-anak di tanah air itu, di wilayah itu. Anak-anak disana selalu tersenyum dan mereka sangat banyak. Senyuman dari anak-anak itu adalah jaminan untuk masa depan. Singkatnya, di Timor Leste saya melihat kemudaan Gereja, Gereja yang โmudaโ: keluarga, anak-anak, kaum muda, banyak seminaris dan calon-calon hidup bakti. Saya ingin mengatakan, tanpa melebih-lebihkan bahwa, saya menghirup ‘udara musim semi’, disana!
Perhentian terakhir dalam perjalanan aposolik saya adalah Singapura. Sebuah negara yang sangat berbeda dari tiga negara lainnya: sebuah negara maju, sangat modern, pusat ekonomi dan keuangan di Asia dan sekitarnya.. Di sana, orang Kristen adalah minoritas, tetapi mereka masih membentuk sebuah Gereja yang hidup, yang berkomitmen untuk menciptakan keharmonisan dan persaudaraan di antara kelompok etnis, budaya, dan agama yang berbeda. Bahkan di Singapura yang kaya ini, ada juga ‘orang-orang kecil’, yang mengikuti Injil dan menjadi garam dan terang, menjadi saksi-saksi akan sebuah pengharapan yang lebih besar daripada apa yang dapat dijamin oleh keuntungan ekonomi.
Saya ingin berterima kasih kepada bangsa-bangsa ini yang telah menyambut saya dengan penuh kehangatan dan penuh cinta. Saya ingin berterima kasih kepada pemerintah mereka, yang telah banyak membantu kunjungan ini, sehingga kunjungan ini dapat dilakukan dengan tertib, tanpa masalah. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkolaborasi dalam kunjungan ini. Saya bersyukur kepada Tuhan atas karunia perjalanan ini! Dan saya memperbaharui rasa terima kasih saya kepada semuanya, kepada mereka semua. Semoga Tuhan memberkati orang-orang yang saya temui dan membimbing mereka di jalan perdamaian dan persaudaraan! Salam untuk semua!
Terjemahan Pribadi
Pater Dr. Doddy Sasi, CMF (Alumni Universitas Kepausan Lateran Roma)