Generasi Milenial vs Politik Uang; Upaya Mewujudkan Pemilu yang Demokratis
DekenatMena.com – OPINI– Fr. Alfin Bria
Pendahuluan
Dalam sejarah kehidupan umat manusia, keinginan untuk mencapai hidup yang baik merupakan cita-cita luhur semua orang. Namun Plato menegaskan bahwa untuk mencapai hidup yang baik tidak mungkin, kecuali dalam polis. Artinya, manusia tidak akan mencapai kebahagiaan kalau hanya menjalani hidup sendiri tanpa orang lain.[1] Kendatipun demikian, kaum Sofis menolak negara dan hukum dengan alasan bahwa keduanya dalam hidup bermasyarakat hanyalah berdasarkan kesepakatan, dan bukan kodrat. Hal ini pun ditegaskan Aristoteles, dalam ajaran tentang negara dengan mengemukakan pendapat bahwa manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial atau makhluk yang hidup dalam negara (polis). Menurut Aristoteles, negara terjadi karena adanya sifat kodrati setiap individu untuk hidup bersama. Salah satu rumusan klasik Aristoteles ialah “Dari Kodratnya, manusia adalah makhluk ber-polis (anthoropos physei politikon zoon).[2]
Mengenai bagaimana negara harus diatur, Aristoteles mempunyai ajaran sederhana. Negara menjadi baik bila mengarah kepada kepentingan umum, sebaliknya negara menjadi buruk bila hanya mengarah kepada kepentingan si penguasa
Adapun tujuan negara (polis) adalah menciptakan hidup yang baik dan membahagiakan para warganya. Setiap individu akan berkembang dalam keutamaan-keutamaan bila negara mengupayakan hal itu. Mengenai bagaimana negara harus diatur, Aristoteles mempunyai ajaran sederhana. Negara menjadi baik bila mengarah kepada kepentingan umum, sebaliknya negara menjadi buruk bila hanya mengarah kepada kepentingan si penguasa. Menurut Aristoteles, ada tiga bentuk negara yang baik, yaitu monarki, aristokrasi, dan politeia (seperti demokrasi moderat dengan UUD). Namun ia berpandangan bahwa yang paling baik diantara ketiganya ialah politeia sebab di dalamnya terjadi pergantian pemimpin yang mana warga kelas bawah dan menengah bisa bergantian memerintah dan diperintah berturut-turut lewat pemilihan secara periodik; dan dengan demikian, akan ada keseimbangan antara golongan atas dan golongan bawah.[3]
Dalam perjalanan waktu, akhirnya banyak negara sepakat dengan pandangan Aristoteles dan menerapkan sistem demokrasi termasuk di dalamnya adalah negara Indonesia. Namun, banyak orang menganggap demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk terutama Plato karena mempunyai pengalaman buruk dengan bentuk negara demokratis, di mana Sokrates yang adalah guru dan sahabatnya di hukum mati dalam pengadilan rakyat di Athena setelah dinyatakan bersalah dengan mayoritas 60 suara secara demokratis.[4] Namun tidak dapat disangkal bahwa tidak ada bentuk politik lain yang lebih baik dari demokrasi itu sendiri.
Robert Dhal mencatat bahwa demokrasi memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan rezim politik yang lain, yaitu: pertama, demokrasi dapat memberi pertolongan berupa pencegahan terhadap tumbuhnya pemerintah oleh kaum Atokrat yang kejam dan licik; kedua, adanya jaminan demokrasi bagi setiap warga negara sejumlah hak asasi yang tidak dapat diberikan dan tidak dapat diberikan oleh berbagai sistem yang tidak demokratis; ketiga, adanya jaminan kebebasan pribadi yang lebih luas bagi sebagai warga negara daripada alternatif lain; keempat, demokrasi dapat menolong orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka; kelima, setiap orang dapat menggunakan kebebasannya untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu hidup di bawah hukum yang dipilih sendiri, melalui pemerintahan yang demokratis; keenam, hanya melalui pemerintahan yang demokratis, setiap warga negara dapat menjalankan tanggung jawab moral; ketujuh, selain demokrasi, tidak ada alternatif lain yang membantu perkembangan manusia secara total; kedelapan, tidak ada alternatif lain selain demokrasi yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi; kesembilan, tidak pernah ada perang satu sama lain dari negara-negara demokrasi perwakilan modern; kesepuluh, negara-negara dengan pemerintahan demokratis cenderung lebih makmur daripada negara dengan pemerintahan tidak demokratis.[5]
Dalam konteks negara Indonesia, telah diterapkan beberapa model sistem demokrasi tetapi setiap model demokrasi yang diaktualisasikan ke dalam tata hidup bersama sepertinya mencemaskan bangsa ini. Mungkin bangsa ini gegabah menerapkan pemerintahan demokratis. Demokrasi yang diselenggarakan secara gegabah akan membuahkan hasil yang menyakitkan yakni merebaknya konflik yang kental dengan kekerasan. Merindukan hidup demokratis dan menyebarkan ide demokrasi ke seluruh dunia merupakan tujuan jangka panjang yang baik namun transisi menuju benar itu penuh onak dan duri, acapkali menciptakan konflik yang gawat.[6]
Bentuk demokrasi paling nyata ialah adanya pemilihan umum. Berdasarkan catatan Internasional Commission of Jurist, Bangkok tahun 1965, dirumuskan bahwa “salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law ialah pemilihan umum”. Selanjutnya, ada rumusan lain tentang definisi suatu pemerintahan berdasarkan perwakilan, yaitu: bentuk pemerintahan yang mana setiap warga negara memiliki kesamaan hak tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada mereka berdasarkan proses pemilihan-pemilihan yang bebas.[7]
Selain sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, pemilu di satu sisi merupakan arena kompetisi yang paling adil bagi partai politik. Secara empiris, pemilihan umum (pemilu) telah menjadi sebuah fenomena global, baik negara maju maupun negara berkembang. Pemilu menjadi sarana terbaik untuk memfasilitasi pergantian kekuasaan yang damai. Kendati demikian, tidak dapat disangkal bahwa praktik pemilu dewasa ini ternyata masih jauh dari harapan setiap warga negara. Pemilu yang adalah arena terbaik bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi justru menjadi panggung pertarungan mematikan para politisi.
Persoalan paling serius dan sering dihadapi masyarakat dalam setiap situasi pemilu adalah adanya praktik money politics. Money politics adalah praktik politik yang menggunakan uang sebagai metode untuk mendapatkan dukungan politik atau memenangkan pemilihan. Praktik ini melibatkan penggelapan dana, pembayaran suap, atau praktik politik korupsi lain yang dapat melemahkan dan merusak proses integritas demokrasi.
Tulisan singkat ini, membahas peran kaum milenial sebagai satu bentuk perlawanan terhadap praktik money politics yang marak terjadi dalam sistem demokrasi Indonesia dewasa ini.
Pembahasan
Konsep Pemilu: Asas- Asas dan Makna Pemilu dalam Negara Demokrasi
Sejatinya pemilihan umum/pemilu merupakan suatu proses untuk memilih orang-orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Selain sebagai bentuk perwujudan negara yang demokratis, pada hakikatnya, pemilu merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan asas yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.[8]
Menurut Paimin Napitupulu, pemilihan umum berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang untuk menjadi pemimpin rakyat, pemimpin negara atau pemimpin pemerintahan. Artinya bahwa rakyat sendiri yang memilih dan menentukan kualitas negaranya. Karena itu, melalui pemilihan umum, rakyat menghadirkan calon pemimpin pemerintahan. Dengan demikian, pemilihan umum merupakan sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara dalam proses memilih sebagian rakyat menjadi pemimpin pemerintahan.[9]
Selanjutnya dalam UU nomor 7 Tahun 2017 dijelaskan bahwa pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Ditegaskan bahwa pemilihan umum merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan demokrasi. Selain itu, peranan rakyat dalam mewujudkan kedaulatannya, tidak hanya melaksanakan pemilu, akan tetapi dengan cara berperan aktif memberikan masukan, usulan dan kritikan obyektif kepada pemerintah dan mengawasi jalannya roda pemerintah. Penyampaian suara itu dapat melalui lembaga perwakilan rakyat, melalui media massa atau dengan cara berunjuk rasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[10]
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat diasumsikan bahwa pemilu sejatinya merupakan proses yang dilakukan secara periodik untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin suatu negara. Artinya bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk nyata dari demokrasi, di mana setiap masyarakat memiliki hak untuk memilih wakilnya melalui suatu proses yang terorganisir dengan baik. Karena itu, pemilu dapat berjalan secara demokratis bila setiap anggota masyarakat maupun lembaga kemasyarakatan ikut ambil bagian secara aktif dalam melaksanakan pemilu.
Melalui pemilu, arah kebijakan negara atau wilayah yang akan dijalankan, serta pemimpin yang berkualitas dapat ditentukan secara langsung oleh rakyat. Namun, kendati pemilu memilik banyak manfaat bagi seluruh anggota masyarakat, pada satu pihak, pemilu dapat menjadi sarana untuk menghasilkan konflik dan ketegangan politik. Oleh sebab itu, keaktifan masyarakat menjadi penting agar pemilu yang diselenggarakan dapat berjalan dengan lancar dan adil serta mengedepankan prinsip transparansi, dan integritas.
Adapun makna pemilu dalam demokrasi ialah pemilu sebagai arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal warga negara yang memenuhi syarat. Karena itu, dalam melaksanakan pemilu, perlu memperhatikan asas-asas pemilu agar pemilu yang berjalan dapat dikatakan berintegritas dan demokratis.
Beberapa asas penting dalam pemilu menurut Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 ialah; pertama, asas langsung, yaitu rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati tanpa perantara. Kedua, asas umum, yaitu semua warga negara yang telah menikah atau berusia 17 tahun berhak ikut memilih dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada pengecualian (diskriminasi). Ketiga, asas rahasia, yaitu rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apa pun siapa yang dipilihnya dan kepada siapa suaranya diberikan. Keempat, asas jujur, yaitu dalam penyelenggaraan pemilu, pelaksanaan pemilu, dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelima, asas adil, yaitu dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilihan dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.[11]
Generasi Milenial
Millenial Generation atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang muda yang lahir dalam rentan waktu tahun 1981-2000. Dalam catatan buku Millenials Rising The Next Great Generation, istilah milenial pertama kali dicetuskan pada tahun 1987 oleh William Strauss dan Neil. Pendapat lainnya menurut Elwood Carlson dalam bukunya The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom, generasi milenial merupakan mereka yang lahir antara tahun 1983-2001. Jika didasarkan pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980-2000. Generasi milenial yang sering disebut generasi Y, sebenarnya mulai dikenal dan dipakai sekitar tahun 1993 pada editorial sebuah koran besar milik Amerika Serikat.[12]
Sementara itu, dalam menyebut generasi milenial, para peneliti juga menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya sebagai Digital Generation yang lahir di antara tahun 1976-2000. Ada pula yang menyebutnya sebagai Nexters yang lahir antara tahun 1980-1999. Selain berbagai pendapat di atas, ada beberapa pendapat mengenai generasi milenial dari penelitian dalam negeri. Pendapat pertama menyebutkan bahwa generasi milenial adalah populasi yang lahir antara tahun 1981-2000. Namun demikian, ada pendapat lain yang memakai tahun 1980-an sampai dengan tahun 2000 untuk menentukan generasi milenial.[13]
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat diasumsikan bahwa generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-an sampai dengan tahun 2000. Bila dilihat lebih jauh, maka dapat dikatakan pula bahwa mereka yang saat ini berumur 15 tahun sampai dengan 35 tahun adalah orang-orang generasi milenial.
Sejatinya praktik money politics merupakan suatu perbuatan melanggar hukum karena termasuk dalam perbuatan tindak pidana, tetapi masyarakat justru tidak memperdulikan bahkan bersedia menerima berbagai macam materi yang diberikan oleh pihak yang mencalonkan diri.
Hal menarik dari generasi milenial ini adalah sejak masa kelahiran hingga masa pertumbuhan, mereka bergerak dalam sistem perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, tidak mengherankan bila mereka terlihat akrab dengan teknologi dan aktif dalam berbagai media massa sehingga karakteristik yang terbentuk pada generasi Y ini adalah adanya kecanduan terhadap internet. Alhasil, mereka kurang bersosialisasi secara langsung, tidak mempunyai waktu cukup untuk berolah raga, punya harga diri yang tinggi, percaya diri, lebih terbuka dan toleran terhadap perubahan.
Ciri lain yang paling menonjol ialah adanya kepedulian terhadap pendidikan, lebih mandiri dan selalu berorientasi pada tujuan. Generasi Y percaya bahwa kunci utama mencapai kesuksesan ialah melalui pendidikan. Karena itu, mereka terlihat kritis dan selalu tanggap terhadap berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan bersama.[14]
Politik Uang (Money Politics)
Ketika berbicara tentang politik maka peranan uang tidak dapat dihindarkan oleh apa dan siapa pun. Kekuatan uang dalam politik sangat mempengaruhi sistem demokrasi tetapi sangat sulit diatasi dalam pemilihan umum. Perjalanan sejarah pemilu bangsa Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan uang telah memainkan peran yang besar dalam meraih kemenangan. Sejatinya praktik money politics merupakan suatu perbuatan melanggar hukum karena termasuk dalam perbuatan tindak pidana, tetapi masyarakat justru tidak memperdulikan bahkan bersedia menerima berbagai macam materi yang diberikan oleh pihak yang mencalonkan diri.
Secara terminologi, money politics berasal dari dua kata bahasa inggris yaitu money (uang) dan politics (politik). Berdasarkan dua pengertian tersebut, maka money politics dapat diasumsikan sebagai politik uang. Dalam konteks negara Indonesia, money politics adalah suap. Arti suap menurut KBBI ialah uang sogok. Maka istilah money politic sebenarnya ialah menggunakan uang untuk mempengaruhi keputusan tertentu atau menjadi alat untuk mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan.[15]
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yuzril Ihza Mahendra, definisi money politics cukup jelas, yakni memberikan imbalan berupa materi kepada masyarakat tertentu untuk mempengaruhi keputusan mereka dalam pemilu. Sementara itu, menurut perspektif Hamdan Zoelva, money politics adalah upaya mempengaruhi perilaku pemilih dalam agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi. Selain itu, ada juga definisi lain yang muncul dari Johny Lomulus bahwa money politics merupakan kebijakan dan atau tindakan memberikan sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan partai politik agar masuk sebagai calon kepada daerah yang definitif atau masyarakat memilih memberikan suaranya kepada calon yang telah memberikan imbalan. Selanjutnya dalam buku yang berjudul Gary Goodpaster money politic didefenisikan sebagai bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses-proses pemilu, yakni meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, kepala daerah dan pemilu legislatif.[16]
Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik money Politics adalah bentuk tindakan yang menyimpang dari berbagai aturan yang telah ditetapkan secara resmi dalam pemilu. Artinya bahwa praktik money politics terjadi karena tindakan sengaja untuk memenangkan pemilu dengan cara yang kotor yaitu dengan memberikan uang atau menjanjikan sesuatu yang berharga kepada masyarakat tertentu. Politik uang umumnya dilakukan untuk menarik simpati rakyat dalam menentukan hak suaranya dalam pemilihan umum.
Penyebab dan Dampak Terjadinya Politik Uang dalam Pemilu
Beberapa faktor penyebab terjadinya politik uang di antaranya ialah; pertama, keterbatasan ekonomi. Faktor ini membuka peluang besar bagi terjadinya politik uang. Artinya bahwa praktik politik uang tidak mudah dihentikan apabila masyarakat masih mengalami kemiskinan. Alhasil, situasi kemiskinan itu mendorong mereka untuk menerima berbagai imbalan yang diberikan oleh para calon dalam pemilu. Kedua, rendahnya pendidikan. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap situasi politik pemilu akan membuka peluang besar bagi para kontestan untuk bekerja. Hal ini berarti bahwa sejauh belum ada pengawasan dan kerja sama yang baik antar pihak-pihak yang terkait, maka politik uang sulit dihentikan. Ketiga, kebiasaan dan tradisi. Praktik politik uang yang sering terjadi di kalangan masyarakat akan menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi bila dibiarkan terus-menerus.[17]
Berdasarkan beberapa faktor penyebab di atas, bila tidak ada kesadaran dari semua pihak terkait untuk mengatasi persoalan itu, maka dampak yang akan ditimbulkan akan merugikan masyarakat dan demokrasi. Beberapa dampak di antaranya adalah; pertama, menghilangkan hak suara yang adil. Ini berarti politik uang dapat mempengaruhi hasil pemilihan dengan memberikan keuntungan bukan bagi kandidat yang memiliki program, visi, misi yang lebih baik, tetapi justru kepada mereka yang memiliki banyak uang. Alhasil, tindakan ini dapat merugikan hak suara yang adil dan ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Kedua, merusak integritas pemilihan. Kepercayaan publik terhadap pemilihan akan berkurang bahkan hilang integritas pemilihan sehingga terlihat buruk. Keburukan integritas pemilu sendiri akan terlihat jelas jika pemilu yang terjadi tidak berjalan secara adil, transparan, dan bersih. Ketiga, mengorbankan kepentingan publik. Para kandidat yang dibantu oleh politik uang, kemungkinan besar akan lebih memprioritaskan para penyumbang uang ketimbang masyarakat pada umumnya. Akibatnya, berbagai kebijakan yang diambil bersifat privasi dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat umum. Keempat, mendorong terjadinya korupsi. Praktik politik uang dapat membuka peluang besar bagi proses terjadinya korupsi dalam pemerintahan. Pengaruh uang dapat mendorong pejabat untuk bertindak secara bebas untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama masa pemilihan. Hal seperti inilah yang pada akhirnya merusak integritas dan transparansi pemerintah.[18]
Perlawanan Terhadap Money Politics: Satu Upaya Mewujudkan Pemilu yang Demokratis
Pada prinsipnya, aturan main demokrasi ialah ada yang kalah dan ada yang menang. Demokrasi hanya dapat berjalan apabila ada pengakuan dari minoritas yang kalah terhadap keputusan yang diambil oleh mayoritas. Metode suara terbanyak menjadi faktor determinan dalam demokrasi. Jadi kedaulatan rakyat bukan berarti kemauan dari seluruh rakyat melainkan kemauan dari suara mayoritas.[19] Kendati demikian, terlepas dari berbagai aturan main yang ada, harapan terbesar bagi seluruh masyarakat terhadap demokrasi Indonesia ialah terwujudnya pemilu yang demokratis.
Pemilu yang demokratis ialah dalam proses pemilihan yang terjadi harus benar-benar mematuhi berbagai aturan yang telah ditetapkan bersama dalam hal ini Undang-Undang mengenai pemilu. Artinya bahwa pemerintah yang sebagus macam apapun, tidak akan pernah mendapat pengakuan demokratis kecuali para pemimpin negara yang ada, terpilih secara bebas, adil, jujur, dan terbuka oleh warganya.[20]
Secara konseptual terdapat dua metode yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil. Pertama, menciptakan aturan untuk mentransfer suara pemilihan ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil, yang disebut sebagai sistem pemilihan. Kedua, pemilu yang dijalankan harus sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi.[21]
Perlu diketahui bahwa pemilu atau pemilihan umum adalah sarana untuk mewujudkan paham kedaulatan rakyat. Oleh karena paham kedaulatan rakyat secara asasi ada pengakuan persamaan hak, maka pemilu harus diikuti oleh semua rakyat kecuali mereka yang secara hukum belum memenuhi syarat mengikuti pemilu. Dengan demikian, sebagai negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, Indonesia telah menetapkan berbagai aturan untuk mewujudkan terjadinya pemilu yang demokratis.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 22 E UUD 1945, prinsip-prinsip pengaturan pemilu adalah sebagai berikut. Pertama, pemilihan umum dilaksanakan secara umum, bebas, adil, dan jujur setiap lima tahun sekali. Kedua, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan perwakilan Daerah. Ketiga, peserta pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Keempat, peserta pemilu DPR dan DPRD adalah perseorangan. Kelima, pemilu dilaksanakan oleh suatu komisi umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.[22]
Berdasarkan beberapa prinsip yang telah ditentukan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya secara teoritis, pemilu sendiri bersifat demokratis. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa praktik pemilu yang terjadi di lapangan justru membolak-balikkan prinsip demokrasi yang ada dan mengubur harapan besar rakyat untuk hidup secara bebas, adil, dan damai. Pemilu yang diselenggarakan tidak dilihat sebagai panggung kedaulatan bersama tetapi justru menjadi panggung pertarungan hidup mati bagi para politisi. Akibatnya, yang bertarung tidak hanya para kandidat dan massa penduduknya, melainkan juga nafsu dan akal sehat, rasionalitas dan sentimen, strategi beradab dan berbagai taktik yang membabi buta.
Sebut saja satu persoalan yang marak terjadi di Indonesia dan cenderung menjadikan pemilu di Indonesia tidak demokratis adalah adanya praktik politik uang (money politics) dalam tahap proses pelaksanaan pemilu. Politik uang membuat proses politik menjadi bias, akibat penggunaan uang, dan pemilu sulit mencapai tujuan sejatinya, seperti yang diungkapkan oleh Klitgaard bahwa ada semacam benang merah kausatif antara praktik korupsi di satu sisi dengan situasi perkembangan politik di masa depan.[23]
Secara empiris, patut diakui bahwa realitas perkembangan politik uang dari pemilu ke pemilu telah memberi keyakinan kepada kita bahwa praktik politik uang yang terjadi di kalangan masyarakat sudah menjadi sebuah tradisi atau mendarah daging, baik pada masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas. Terhadap praktik ini, satu hal yang sulit diterima secara akal sehat ialah adanya kesadaran dalam diri bahwa praktik politik uang bukan suatu tindakan terpuji dan berkualitas dalam kehidupan bersama tetapi justru melihat itu sebagai hal yang biasa terutama pada para politisi yang notabene memiliki pemahaman tentang politik.
Kesalahan terbesar ialah ketika membiarkan persoalan politik uang terus menerus meraja lela di kalangan masyarakat, sebab hal itu akan menimbulkan juga adanya degradasi moral terhadap anak bangsa. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk mengatasi persoalan ini pada pemilu-pemilu mendatang adalah dengan memberikan perlawanan kepada semua pihak yang akan melaksanakan praktik politik uang.
Perlawanan terhadap politik uang dapat dilakukan melalui peran kaum milenial dalam proses terjadinya pemilu. Kaum milenial sebagai agent of change dan penerus bangsa adalah mereka yang lahir pada; antara tahun 1980-2000 atau mereka yang saat ini berumur 15 hingga 30-an tahun. Hal ini berarti bahwa pada pemilu mendatang sebagian besar peserta pemilu yang ada, berasal dari kaum milenial. Selain itu, dari kaum milenial ada, sebagian besar menyandang gelar sarjana muda dan lainnya berstatus mahasiswa. Artinya bahwa mereka adalah sekelompok kaum intelek yang memiliki visi, misi hidup dan cerdas serta kritis terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, peran penting kaum milenial dalam pemilu sangat dibutuhkan agar pemilu dapat berjalan secara demokratis.
Beberapa peran kaum milenial dalam pemilu yang dapat dijadikan pegangan untuk melawan persoalan praktik politik uang, di antaranya adalah pertama, memilih dengan bijak. Sebagai orang yang berpendidikan dan mencintai kehidupan akal sehat, kaum milenial dapat memilih kandidat yang berkualitas, terbaik dan yang mewakili berbagai nilai dan kepentingan mereka. Kaum milenial juga dapat mengumpulkan berbagai informasi sebanyak mungkin sebelum memutuskan untuk memilih kandidat tertentu. Kedua, kampanye dan mobilisasi pemilih. Kaum milenial dapat berperan aktif dalam kampanye dan memobilisasi pemilih lain secara benar, terutama sesama kaum milenial, untuk menggunakan hak pilih mereka dan memilih kandidat yang berkualitas. Ketiga, menjadi pengamat pemilu. Dengan mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan, kaum milenial dapat berperan penting sebagai pengamat pemilu yang bertugas untuk memastikan pemilu berjalan secara demokratis yakni adil, benar, jujur, dan damai.[24]
Dalam berbagai peran di atas, hal penting bagi kaum milenial ialah berpartisipasi secara aktif dalam pemilu dan memanfaatkan hak pilih yang ada untuk memilih calon-calon yang terbaik demi kesejahteraan bersama.
Partisipasi kaum milenial menjadi penting karena mereka adalah bagian dari penentu keberhasilan pemilu. Jumlah pemilih milenial mencapai 30-40% sehingga memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan pemimpin di masa depan. Dalam hal ini, partisipasi politik milenial begitu substansial karena selain memiliki jumlah presentasi suara terbanyak, mereka juga mempunyai pengaruh tersendiri terhadap proses pemilu. Oleh sebab itu, persoalan politik uang (money politics) dapat diantisipasi apabila kaum milenial mampu menyadarkan masyarakat secara keseluruhan dengan berbagai pengalaman organisasi yang dipelajari di kampus maupun berbagai pemahaman mengenai politik.[25]
Kesimpulan
Sejatinya pemilihan umum/pemilu merupakan suatu proses untuk memilih orang-orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Selain sebagai bentuk perwujudan negara yang demokratis, pada hakikatnya, pemilu merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan asas yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.
Pemilu yang demokratis ialah dalam proses pemilihan yang terjadi, harus benar-benar mematuhi berbagai aturan yang telah ditetapkan bersama dalam hal ini Undang-Undang mengenai pemilu. Artinya bahwa pemerintah yang sebagus apa pun, tidak akan pernah mendapat pengakuan demokratis kecuali para pemimpin negara yang ada terpilih secara bebas, adil, jujur, dan terbuka oleh warganya.
Pemilu yang demokratis dapat terwujud sesuai harapan seluruh rakyat hanya jika mampu mengatasi praktik money politics yang marak terjadi di Indonesia. Money politics adalah satu bentuk praktik yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, peran aktif generasi milenial sangat penting dalam pemilu untuk memberi perlawanan terhadap praktik money politics yang terjadi.
Penulis : Fr. Alfin Bria, S.Fil (Frater TOP Paroki Santa Filomena Mena)
Editor : RD. Yudel Neno
Sumber Bacaan :
[1]Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 55.
[2]Ibid., hal.73.
[3]Ibid., hal. 75
[4]Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf Dan Ilmuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 34.
[5]Roberd Dhal, dalam Didik Supriyanto, Melihat Pemilu Dari Berbagai Sisi, www.panwaslulampung.blogspot.com/2008/11/berita-pemilu-nasionaldaerah-kpu_o3.html. Diakses pada 15 April 2023 pukul 15:40 WITA.
[6]Oktovianus Naif, Demokrasi Pancasila: Musyawarah Mufakat, (Lamalera: Yogyakarta, 2008), hal. 316.
[7]Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, (Badan penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Depok, 2000), hal. 1.
[8]AmeMulyana”KonsepPemilihanUmum”,http://repository.unpas.ac.id/13193/5/BAB%20II.pdf, hal. 22. Diakses pada 25 April 2023, pukul 16:08 WITA.
[9]Dion Marendra, Buku Pintar Pemilu dan Demokrasi, (Komisi Pemilihan Umum Kota Bogor: Bogor, 2020), hal. 12.
[10] Ibid., hal. 13.
[11]Ibid., hal. 15.
[12]Harries Madiistryyatno, Generasi Milenial Tantangan Membangun Komitmen Kerja/ Bisnis dan Adversity Quotient (AQ), (Indigo Media: Tangerang, 2019), hal. 17.
[13]Ibid., hal.19.
[14]Ibid., hal. 21.
[15]Ebin Danius, Politik Uang dan Politik Rakyat, Universitas Halmahera, 1999, dalam www.uniera.ac.id/pub/I/I. Diakses pada tanggal 26 April 2023, pukul 09:20 WITA.
[16]Gary Goodpaster, Refleksi Tentang Korupsi di Indonesia, (Jakarta: USAID, 2001), hal. 14.
[17]Zulkarnain Hamson, Studi Literatur Politik Uang Dalam Pemilu Di Indonesia, https://www.researchgate.net/publication/345055248_Studi_Literatur_Politik_Uang_Dalam_Pemilu_di_Indonesia. Diakses pada 26 April 2023, pukul 10:10 WITA.
[18]Winardi, Politik Uang Dalam Pemilihan Umum, Jurnal Konstitusi, Vol. 2, No. 1 (Juni, 2009), hal. 153.
[19] Oktovianus Naif, Op. Cit., hal. 387.
[20]Ibid., hal. 390.
[21]Winardi, Op. Cit., hal. 152.
[22]Ibid.,
[23] Robert Klitgaard, membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 15.
[24]Yusrin, Partisipasi Generasi Milenial dalam Mengawasi Tahapan Pemilu 2024 Jurnal On Education, Vol 5 No. 3 (Februari, 2023), hal. 947.
[25]Ibid., hal. 952.