Opini

Hari Buruh sebagai Momen Refleksi tentang Pembebasan dari Kungkungan Algoritmik Digital

(Untuk Memaknai Hari Buruh Nasional di Era Digital)

REFLEKSI KRITISDekenatMena.com – Hari Buruh sebagai Momen Refleksi tentang Pembebasan dari Kungkungan Algoritmik Digital – (Untuk Memaknai Hari Buruh Nasional di Era Digital) – oleh Rm. Yudel Neno, Pr

Pendahuluan

Hari Buruh Nasional setiap 1 Mei bukan sekadar seremoni tahunan untuk mengenang sejarah perjuangan buruh melawan ketidakadilan ekonomi dan sosial.

Lebih dari itu, Hari Buruh menjadi panggilan moral bagi seluruh masyarakat untuk meninjau kembali bentuk-bentuk penindasan baru yang menyamar dalam rupa modernitas.

Salah satu bentuk dominasi baru itu hadir dalam dunia digital—terutama melalui kecanduan terhadap algoritma, fenomena FYP (For You Page), dan tuntutan eksistensi dalam pusaran sosial media.

Tulisan singkat ini hendak merefleksikan Hari Buruh sebagai kesempatan etis untuk membebaskan manusia dari keterjajahan digital, yang menjadikan algoritma sebagai majikan dan manusia sebagai buruh yang tanpa sadar sedang dieksploitasi oleh sistem yang mereka nikmati sendiri.

Buruh Digital dan Jam Kerja Tanpa Batas

Di satu sisi, kaum buruh memperjuangkan jam kerja yang realistis dan manusiawi. Namun ironisnya, di sisi lain, manusia modern secara sukarela memperpanjang “jam kerjanya” sendiri dengan menjadi budak algoritma digital 24 jam sehari.

Obsesi terhadap keterkenalan, FYP, jumlah likes, dan engagement, menyeret banyak orang untuk terus menerus membagikan diri (overshare) dan menerbitkan konten (overpublish) tanpa arah dan makna yang jelas.

Dunia digital tidak mengenal jam istirahat; ia menuntut terus-menerus produksi, tanpa mengenal hari libur dan waktu pribadi. Maka, sesungguhnya, sistem digital telah menciptakan bentuk baru dari kerja tanpa upah—yang justru disambut dengan sukacita karena dibalut oleh janji palsu akan popularitas.

Hari Buruh dan Dunia yang Penuh Salinan

Solidaritas buruh dahulu adalah perjuangan yang penuh integritas. Kini, dalam dunia digital, solidaritas digantikan oleh budaya salin-menyalin, hoaks, dan fakenews. Keaslian dan martabat yang dulu diperjuangkan kaum buruh, kini dikalahkan oleh algoritma yang hanya menghargai keterlibatan, bukan kebenaran. Media sosial, dalam hal ini, bertindak sebagai majikan baru yang menciptakan sistem kerja virtual yang menekan, menipu, dan meninabobokan.

Refleksi Sosial dan Ajaran Paus Leo XIII

Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum (1891) telah dengan sangat tegas menyatakan bahwa ketidakadilan terhadap kaum buruh adalah bentuk pelanggaran terhadap martabat manusia. Ia mengecam ketamakan pemilik modal yang mengeksploitasi tenaga kerja tanpa mempertimbangkan nilai manusiawi di balik pekerjaan itu. Ironisnya, pesan profetik ini masih sangat relevan hari ini—hanya saja, bentuknya telah berubah. Ketamakan kini tidak lagi hanya soal uang, tapi juga soal data, privasi, atensi, dan angka digital yang bersifat semu. Dunia digital memperlakukan manusia sebagai objek statistik, dan menggerus hak-hak dasar mereka atas keheningan, privasi, dan kebebasan berpikir.

Digitalisasi dan Ketimpangan Baru

Media sosial menjadikan manusia sebagai objek produksi tanpa jaminan keadilan distribusi. Akses bebas terhadap internet memang terasa demokratis, tetapi sistem algoritmik menciptakan ketimpangan baru: siapa yang mampu menyesuaikan diri dengan tren algoritma, dia yang ‘berjaya’, dan sisanya terpinggirkan. Dunia digital telah menciptakan kaum buruh baru: manusia yang bekerja secara psikis dan emosional untuk mempertahankan eksistensi digital mereka, seringkali dengan mengorbankan martabat tubuh dan akal sehat.

Kesimpulan – Hari Buruh dan Seruan Pembebasan Baru

Tulisan singkat ini merupakan bagian dari upaya untuk memaknai Hari Buruh Nasional bukan hanya sebagai momen peringatan sejarah perjuangan kaum buruh melawan ketidakadilan industri, tetapi juga sebagai kesempatan reflektif untuk membebaskan diri dari bentuk perbudakan baru dalam dunia digital.

Hari Buruh seharusnya menjadi momen untuk mengkritisi bagaimana algoritma, FYP, dan obsesi viralitas menjelma menjadi majikan yang menekan martabat manusia.

Kini, kita perlu memperjuangkan hak atas keheningan, hak atas makna, hak atas eksistensi yang tidak diukur dari algoritma. Karena sesungguhnya, sebagaimana ditegaskan dalam ajaran sosial Gereja, kerja adalah panggilan luhur, bukan alat eksploitasi. Maka, manusia pun layak untuk bebas dari bentuk kerja digital yang membelenggu, agar martabatnya tetap utuh sebagai citra Allah yang merdeka.

Komentar

Related Articles

Back to top button