Politik dan Maharnya…Begitulah Terjadi dan Seterusnya…
Opini, Yudel Neno – Politik dan Maharnya…Begitulah Terjadi dan Seterusnya… – George Orwell, Sastrawan asal Inggris menulis ; Dalam zaman kita ini, tak ada yang namanya lepas dari politik. Semua isu adalah isu politik dan politik itu sendiri merupakan tumpukan kebohongan, penafian, kegilaan, kebencian dan skizofrenia.
Pernyataan George di atas, tentu tidak terlepas dari riset dan pengalamannya. Pointnya ialah politik yang seharusnya bersih dan suci, berubah rupa menjadi buruk karena ulah para politisi.
Progres politik makin ke sini makin bercorak banal. Kesalahan ataupun pelanggaran dianggap normal dan hal biasa. Kesepakatan dijadikan sebagai jaminan untuk melindungi banalitas rencana politik.
Penafian ditempuh sebagai cara untuk mempromulgasi komitmen, yang sebetulnya bersifat semu.
Kebohongan ditempuh sebagai cara untuk menunjukkan pengorbanan mempertaruhkan nyawa. Strategi kebencian disusun dan dilancarkan secara intens dengan senjata black campaign dan negative campaign.
Racun skizofrenia merasuk masuk dalam kesadaran manusia, akibatnya, solidaritas kemanusiaan terabaikan dan terlupakan sambil memajukan kotak kematian untuk segera diisi dengan rencana melumpuhkan.
Politik dengan tujuan mencapai kebaikan bersama, masih terlalu jauh untuk digapai.
Sementara kondisi para politisi berada dalam kekuasaan racun skizofrenia, alat-alat politik pun tak kalah menjual diri dengan nominal yang begitu fantastis.
Mahar politik dijadikan sebagai alasan pembelajaran bahwa untuk mendapatkan sesuatu, diperlukan kerja keras dan pengorbanan yang tak main-main.
Kesan yang muncul diakhir ialah politik ternyata bercorak transaksional. Politik tidak hanya tidak butuh uang. Politik tidak bisa tanpa uang. Itulah sebabnya, kematangan politisi seringkali bukanlah syarat dan jaminan melainkan aspek finansial-lah yang menjadi syarat utama.
Program kesejahteraan politik, banyak kali nasibnya diujung tombak, dan hanya dapat lolos dalam domain alat politik, apabila maharnya berlabel istimewa tujuh turunan.
Trias Kuncahyono (Wartawan Senior Media Kompas) pernah menulis; ada semacam adagium bahwa kekuasaan cenderung mengorupsikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang yang memiliki uang, mencari kekuasaan; setelah memiliki kekuasaan, mencari uang lebih banyak; kalau uang sudah lebih banyak, lalu mencari kekuasaan yang lebih besar. Begitu seterusnya…..
Ungkapan Trias Kuncahyono memantik kita untuk berpikir bahwa politik Negeri ini, tidak sedang baik-baik saja. Politik yang pada mulanya bertujuan untuk mencari kekuasaan, kini kekuasaan meningkat corak menjadi hegemoni, dan dipakai lagi sebagai kekuatan dan jaminan untuk mempertahankan dan memperoleh lagi kekuasaan.
Begitu seterusnya, mata rantai politik berlangsung. Mata rantai ini terus berlangsung dari waktu ke waktu, tak kenal lelah dan tak pula usang, karena pada setiap sudut-sudutnya, diberi asupan mahar dengan nominal yang fantastis.
Orang-orang yang berada dalam lingkaran pengambil kebijakan, akan merasa seolah bijaksana dan berani untuk memutuskan apabila cara berpikir mereka diberi asupan gizi finansial. Alhasil, keputusan pastinya akan bergerak menurut besutan mahar daripada kualitas aktor.
Bagi Masyarakat NTT, sesaat lagi akan berlangsung pemilihan gubernur dan bupati. Safari politik oleh figur dan oleh partai telah berlangsung, dan pasti akan terus berlangsung hingga hari di mana terjadinya pemilihan.
Diskusi tentang siapa pilih siapa; siapa 1, siapa 2 perlahan mulai mundur pada urutan dua, dan bergeser naik ke satu, diskusi tentang wadah yang mana, yang dipakai, dengan substansinya ialah mana usung siapa. Mulanya diskusi bersifat personal karena sasaran domainnya ialah subjek ke subjek. Kini bergeser level dan bergeser pula sudutnya. Cara memainkannya lebih bersifat vertikal. Semakin dekat waktu, orang akan semakin gila, ingin mencari sumber vertikalnya, walaupun dengan pengorbanan finansial yang tak biasa.
Arus pergerakan antara figur (paket) dan partai (pengusung – pendukung) bersifat sama, tetapi dengan tuntutannya berbeda. Figur butuh diusung demi terpenuhi quota pemilu seperti yang disyaratkan undang-undang, dan butuh didukung demi komposisi dan afiliasi politik. Partai dan segala alat kelengkapannya butuh figur penjaga dan pelaksana pada setiap daerah dan situasi, dan karena itu, memerlukan sosok penguasa demi kepentingan kebijakan dan bahkan pengusaha demi kelancaran akses misi politik partai. Boleh dikatakan, keduanya bersifat mutualistik, karena bersifat saling menguntungkan.
Walaupun demikian, ada saja problem yang muncul entah dari figur maupun dari partai. Figur yang secara internal, sudah menjadi bagian dari partai dalam waktu yang lama, atas kepentingan partai dan koalisi partai, partai bisa menjatuhkan pilihan pada figur yang sama sekali baru dan dengan sendirinya figur sebelumnya tereliminasi. Demikian halnya, partai politik, atas kualitas survey politik menjelang suksesi, dan atas mahar politik, para berduit dapat saja mengantongi KTA dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa proses pematangan sebelumya. Begitulah terjadi dan seterusnya…..
Pada akhirnya, masyarakat akar rumput menjadi penonton di hadapan haknya sendiri untuk memilih dan haknya sebagai warga negara. Itulah kisah tragis yang selalu dialami bersama tanpa solusi sebab orang-orang yang berwewenang menyediakan solusi malah makin hari makin asyik memainkan pertarungan banalitas.
Penulis : Yudel Neno