Cerpen

Ia Telah Pergi

(Cerpen ini dikembangkan dari sebuah puisi karya Eren Olla)

Pagi itu, 15 Januari, hujan masih menangisi kepergianmu. Semilir sepoi angin utara masih terasa hingga ke sum-sum tulang, membawa pesan baru. Di bawah teduhnya umek bubu, ibu sementara mengupas jagung muda yang hendak direbus. Kami duduk sembari bergurau.

Meski mengingatmu seperti jarak tempuh yang sulit, aku duduk termenung ketika ibu berkata: “Nak, ia telah pergi. Jauh… jauh sekali.”

***

Kekasihku, Gadis Biboki. Ia penyuka kapur, sirih juga pinang. Ia tak kaya. Hidupnya sederhana, tapi berirama. Seperti permainan aksara dalam takanab. Syairnya pasti. Sudah tentu bernada indah.

Kekasihku, Gadis bersarung. Tenunnya dari lentik manis. Motifnya dipinjam dari kelabu lembayung. Menawan. Sungguh menggoda.

Kekasihku, Gadis desa. Semempesona pohon cendana. Senyumannya amat manis.
Semanis ranum kesemek segar yang baru dipetik di persinggahan kenangan kota dingin.

Dia kusayang, juga Kubanggakan dengan amat. Tapi setelah kota gemerlap memperkenalkanku pada seribu gemintang di binar jalang, aku jadi malu. Banyak sejawat mengejekku. Kata mereka, “Kekasihku, Gadis desa. Lugu dan kolot.”

Mendengar ujaran mereka, rongga dadaku sesak. Pedih amat menyayat. Seperti
tertusuk tanjam cadas. Mau mati saja rasanya.

Menjelang hampir pagi, kujumpai kekasihku. Di bawah teduhnya pohon reo, Aku berkata: “Kasih, tinggalkan kebiasaanmu makan sirih-pinang. Itu mengurangi kecantikkanmu. Ganti juga sarung yang kau pakai. Ini kubawakan gaun indah bermerk, biar rupamu semolek gadis-gadis kota. Menawan dan tak dibilang kampungan.”

Ia tunduk dan menangis. Amat lama sampai tetesnya menumbuhkan sulur di tandus tanah.

“Sayang, kapur adalah kebanggaanku. Putihnya suci jiwaku. Sirih dan pinang warisan mentari pagi. Perpaduan ketiganya, hasrat yang hampir pasti sekuat karang tanahku. Merah liurku, darah yang tak ingin kutumpahkan sia-sia. Merahnya juga adalah lipstik jingga dari sabana lepas. Sarung, yang kukenakkan adalah sulaman peluh hati yang tak kunjung gersang. Cukup untuk menutupi badanku, dari sengatan lentik-lentik jail. Cukup juga untuk meyembunyikan putih pahaku dari mata-mata naif. Pergi saja. Menjauh dari harum namaku. Tinggalkan aku pada bingkisan kenangan di saku-saku pakaianmu.”

Dia akhirnya pergi. Menjauh dan selamanya hilang dari keruh dadaku.

***

Aku tersendak, ketika ayahku memanggil: “Nak, jangan pikirkan hal ini. Mari kita pergi ke sawah. Menjaga padi dari gangguan burung pipit, menjaga matahari agar tetap awet. Tak usah kau khawatirkan. Yang abadi adalah kenangan.”

***

Namaku Melki. Orang-orang di kampungku sering memanggilku Mekos. “Biar lebih akrab,” kata mereka. Sesudah menamatkan Sekolah Menengah Pertama di kampungku, Aku hendak pergi melanjutkan pendidikan di kota metropolitan, nun jauh dari kampungku. Ayahku pernah menasihati: “Kita hanya punya ladang sawah yang luasnya 10 are dan sapi peninggalan kakekmu 3 ekor. Sebidang tanah di rumahnya sering ditanami jagung pada musim hujan. Jika kamu pergi, hanya bapak yang nanti menjaga semuanya. Sekolah-lah dulu di sini. Nanti baru kamu pergi ke kota.”

Aku pun mengurungkan niat untuk pergi. Pendidikanku di tingkat Sekolah Menengah Atas kulanjutkan di kota kecamatan, 10 kilo meter jauhnya dari kampungku. Aku bersama teman-teman biasanya berjalan kaki ke sekolah. Sungguh, kami menikmatinya.

Kalau ada hari libur, Aku bersama ayah pergi memberi makan sapi di padang luas. Aku membawa okulele, secangkir kopi dan dua mok, ayah membawa rumput sekarung untuk diberi makan pada sapi milik kami.

Sesudah memberi makan sapi, ayah biasanya bernostalgia. “Dulu, kita punya sawah yang luas. Sapi milik kakekmu sangat banyak. Ketika pedagang dari kota datang dan menawari sapi kakekmu dengan harga yang menggiurkan, kakekmu langsung menjualnya. Demikianpun dengan sawah kita. Untunglah, kakekmu masih mengingat anak-cucunya. Ia masih tinggalkan beberapa warisan ini. Nanti, nak tolong wariskan juga kepada anakmu.”

O, ya. Ayahku seorang pencerita yang baik di kampung kami.

Saya mengiringi ceritanya dengan petikan okulele, sembari sesekali kami menyayikan
lagu “Kuan Kefa”.

Sesudah matahari berada tepat di ubun-ubun, kami pergi ke sawah. Di sana, padi hampir menguning. Lumayan, curah hujan kali ini membawa tumbuh-kembang yang baik bagi padi kami. Ayah mengusir burung yang datang berjamaah bertengger di dekat padi kami, saya menyiapkan kopi.

Ayah biasanya bernostalgia lagi di bawah gubuk. “Dulu, Ayah berkenalan dengan ibumu ketika musim panen padi tiba. Biasanya, orang yang punya ladang sawah yang luas, menyewa banyak pekerja untuk membantu mengirik padi. Ibumu salah satu pekerja yang disewa. Merahnya mulut ibumu karena mengunyah sirih pinang ditambah gigihnya ia bekerja keras, ayah mulai tertarik. Ayah sampaikan salam lewat pemilik lahan sawah yang luas.”

Ayah melanjutkan ceritanya sampai mereka akhirnya memilih untuk melangkah ke tahap Au Oro. “Dua pihak keluarga sepakat, kami akhirnya hidup bersama dan melahirkan kamu, nak”, tutur ayah dengan mata berkaca. “Ayah berharap, nak tetap menjaga padi dan sapi kita. Itu warisan leluhurmu,” tutup ayah.

Matahari mulai redup perlahan. Senja mulai datang. Aku dan ayah kembali ke rumah kami. Seusai membersihkan badan, ibu sudah menunggu kami di ume kbubu. Ia seduhkan
kopi sebagai pembuka. Sesudahnya, jagung bose siap dihidangkan. Lu’at yang dicampur
daun kemangi menemani jagung bose buatan ibu.

Rinai hujan mulai mengguyur kampung kami. Gelap mulai tiba. Ibu nyalakan pelita. Ibu berkisah tentang dapur yang mesti terus berasap, tentang kayu api yang tiap harinya ia
cari, tentang masa depanku yang belum pasti, tentang kisah keluarga, dan banyak lagi. Tak
sadar, aku tertidur pulas. Begitulah setiap hari ibu menghibur anaknya yang membantu ayah
bekerja.

***

Ketika biaya kuliah tidak mencukupi, diam-diam aku kabur dan merantau ke kota metropolitan. Gaya hidup metro sangat mencengangkan. Morat-maritnya kesibukan, gedung pencakar langit yang megah, para pekerja kantoran yang bertebaran, gedung-gedung ber-AC, wisata yang indah dan pusat perbelanjaan kota yang mewah. Jauh berbeda dengan situasi kampungku. Jauh sekali.

Bertahun-tahun, aku tergiur dengan gaya hidup metro. Stylish-modis a la anak metro. Aku mulai risih dengan gaya hidup di kampung yang kolot dan kampungan.

***

Desember tahun ini, aku berlibur ke kampung. Tidak kujumpai lagi suasana kampung yang dulu. Ayah yang sudah tua renta dan pikun, tak bisa lagi bercerita. Ibuku tidak lagi memasak dengan kayu api. Aku pernah mengirimnya uang untuk membeli komfor gas. Tidak ada lagi kepulan asap dapur. Ketika kutanya ibu di mana Gadis Desaku, ia hanya menjawab:
“Ia telah pergi! Jauh.”

Gadis Desaku, penyuka sirih pinang. Pemakai khas kain adat, telah pergi. Ia pergi, karena aku yang tidak lagi peduli padanya.*

 

Oleh: Kris Ibu
(Pastor Pembantu Paroki SP Maria Bunda Allah – Ponu)

Ed. Yudel Neno

Komentar
Back to top button