
DekenatMena.com – Korupsi dalam Perspektif Psikologi dan Filsafat – oleh Yudel Neno, Pr
Pendahuluan
Korupsi adalah salah satu penyakit sosial yang merusak tatanan moral, ekonomi, dan politik suatu bangsa. Tindakan ini tidak hanya mencerminkan penyimpangan hukum, tetapi juga mencerminkan krisis moral dan degradasi nilai kemanusiaan. Disebut degradasi karena tindakan korupsi merampas apa yang menjadi hak orang lain. Sementara merampas hak orang lain, sama halnya dengan menodai martabat manusia, yang memiliki kesamaan dalam kebutuhan akan keadilan, kebaikan dan kebebasan.
Lebih parahnya lagi, korupsi mewabah dan menjamur menjadi fenomena global yang merugikan banyak orang, terutama masyarakat kecil yang bergantung pada kebijakan dan anggaran publik untuk kesejahteraan mereka. Di sini, dapat kita lihat, tindakan korupsi sebagai penyebab kemiskinan karena jebolan sistem yang kemudian dirationalisasi demi kepentingan personal ataupun komunal dalam skala terbatas.
Dalam memahami akar masalah korupsi, pendekatan psikologi dan filsafat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana tindakan korupsi dapat terjadi dan berkembang dalam masyarakat.
Sigmund Freud (Neurolog dan Psikoanalis asal Austria) melalui teorinya tentang struktur kepribadian manusia (ID, Ego, dan Superego), menjelaskan bahwa korupsi sering kali berakar pada dorongan primitif ID yang tidak terkendali. Sementara itu, dari perspektif filsafat, korupsi bertentangan dengan konsep eudaimonia Aristoteles, yang menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kebajikan dan kehidupan yang bermoral.
Selain itu, pemikiran dari Juvenal (Decimus Junius Juvenalis – Penyair – Satiris Romawi Kuno dan Hannah Arendt (Filsuf Jerman – Amerika) memperlihatkan bagaimana masyarakat yang pasif dan tidak berpikir kritis dapat menjadi lahan subur bagi korupsi untuk berkembang. Juvenal, melalui konsep Panem et Circenses, menunjukkan bahwa rakyat yang hanya mencari hiburan dan kenyamanan dapat dengan mudah dimanipulasi oleh penguasa yang korup. Arendt, melalui gagasannya tentang Banalitas Kejahatan, mengungkap bahwa tindakan korupsi sering kali terjadi bukan karena niat jahat yang luar biasa, melainkan karena ketumpulan hati nurani dan ketidaksadaran moral.
Dalam tulisan ini, korupsi juga akan dianalisis berdasarkan kategorisasi manusia dari epithuman hingga bestial. Jika epithuman mencerminkan pencapaian tertinggi manusia dalam moral dan kebajikan, maka korupsi lebih dekat dengan inhuman, subhuman, dan bahkan bestial, karena mencerminkan tindakan yang melampaui batas-batas kemanusiaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Rocky Gerung, koruptor sering kali lebih rendah dari binatang, karena tidak pernah merasa cukup dan terus mengeruk kekayaan meskipun sudah berlebihan.
Dengan memahami korupsi dari sudut pandang psikologi dan filsafat, kita dapat menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor yang menyebabkan korupsi terus terjadi serta bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk memberantasnya. Bukan hanya penegakan hukum yang diperlukan, tetapi juga revolusi moral dan kesadaran kritis dalam masyarakat agar nilai-nilai kejujuran dan keadilan dapat ditegakkan.
Namun, jika dominasi ID tidak terkendali—misalnya dalam kasus korupsi—dorongan keserakahan dan kepentingan pribadi dapat mengabaikan norma-norma moral, merusak tatanan sosial, dan menimbulkan penderitaan bagi orang lain.
Korupsi dalam Konsep Sigmund Freud: ID, Ego, dan Superego
Sigmund Freud mengembangkan teori struktur kepribadian yang terdiri dari tiga komponen utama yakni ID, Ego, dan Superego. Ketiga elemen ini merupakan struktur psikis yang terpisah tetapi saling berinteraksi, berfungsi sebagai konstruksi teoretis yang mendeskripsikan aktivitas dan dinamika psikologis manusia dalam kehidupannya.
Yang pertama : ID
ID merupakan bagian paling primitif dari jiwa manusia, yang beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). ID mendorong individu untuk memenuhi dorongan biologis dan naluriah seperti makan, seks, dan agresi, tanpa mempertimbangkan moralitas atau konsekuensi sosial. ID bersifat impulsif, irasional, dan tidak mengenal norma.
Yang kedua : Ego
Ego berfungsi sebagai penengah antara ID dan realitas, bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Ego memungkinkan seseorang untuk memenuhi keinginan ID dengan cara yang dapat diterima secara sosial dan rasional. Ego juga bertanggung jawab dalam mengambil keputusan serta menyesuaikan dorongan instingtif dengan tuntutan lingkungan.
Yang ketiga : Superego
Superego merupakan representasi nilai-nilai moral, norma sosial, dan prinsip etika yang dipelajari sejak kecil. Superego berkembang dari proses internalisasi aturan orang tua dan masyarakat, bertindak sebagai “hati nurani” yang mengontrol dorongan ID serta mengarahkan Ego untuk berperilaku sesuai dengan standar moral.
Dalam kehidupan manusia, ketiga struktur di atas selalu berinteraksi secara dinamis. Ego berperan dalam menyeimbangkan tuntutan ID yang ingin memuaskan keinginan secara instan dengan kendali Superego yang menuntut kesesuaian dengan norma sosial. Jika keseimbangan ini terganggu, seseorang dapat mengalami konflik psikologis yang dapat memengaruhi perilaku dan keputusan yang diambilnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks sosial, ID bisa menjadi kekuatan kreatif dan vital jika dikelola dengan baik oleh Ego dan Superego. Namun, jika dominasi ID tidak terkendali—misalnya dalam kasus korupsi—dorongan keserakahan dan kepentingan pribadi dapat mengabaikan norma-norma moral, merusak tatanan sosial, dan menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Oleh karena itu, pemahaman tentang interaksi antara ID, Ego, dan Superego menjadi kunci dalam menganalisis perilaku manusia, termasuk dalam fenomena korupsi dan penyimpangan moral lainnya.
Dalam konteks korupsi, tindakan korupsi dapat dikaitkan dengan dominasi ID, karena didorong oleh keinginan pribadi yang egois seperti keserakahan, kekuasaan, dan kenikmatan materi tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi masyarakat. Ego berperan dalam merancang strategi untuk menutupi korupsi atau membuatnya tampak “sah.” Sementara Superego, yang seharusnya menjadi pengontrol moral, sering kali ditekan atau dilemahkan dalam diri seorang koruptor, terutama jika lingkungan sosial dan hukum kurang tegas dalam menegakkan moralitas dan keadilan.
Tindakan Korupsi dalam Perspektif Epithuman, Inhuman, Subhuman, dan Bestial
Keempat istilah di atas memiliki makna berbeda dalam menggambarkan sifat atau kondisi manusia dibandingkan dengan makhluk lain atau tingkat kemanusiaan.
Yang pertama : Epithumen
Istilah Epithuman jarang digunakan tetapi secara harfiah berarti “melampaui manusia” atau “di atas manusia” (epi- dalam bahasa Yunani berarti “di atas”). Secara positif, istilah Epithuman merujuk pada manusia yang memiliki sifat, kemampuan, atau pemikiran yang lebih tinggi dibandingkan manusia biasa—misalnya, dalam konteks filsafat atau teologi, mungkin dikaitkan dengan sifat yang lebih suci atau mendekati kesempurnaan.
Jika dikaitkan dengan korupsi, jelas bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan konsep epithuman, karena mencerminkan degradasi moral, bukan pencapaian tertinggi manusia dalam etika dan kebajikan. Dalam hal ini, pemikiran Aristoteles tentang etika dan kebajikan dapat menjadi landasan yang relevan untuk membahas korupsi.
Sumbangan Pemikiran Aristoteles dalam Hubungannya dengan Epithumen dan Korupsi
Aristoteles dalam konsep eudaimonia menekankan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia terletak pada pencapaian kebaikan yang sempurna (the highest good). Kebaikan ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga sosial dan politik. Manusia yang baik menurut Aristoteles adalah yang menggunakan akal budinya secara maksimal untuk mencapai kebajikan (virtue).
Korupsi, sebaliknya, adalah bentuk keburukan yang menghambat pencapaian eudaimonia karena didasarkan pada keserakahan, bukan kebajikan. Oleh karena itu, tindakan korupsi tidak hanya bertentangan dengan keutamaan moral (moral virtue), tetapi juga mencederai kebahagiaan bersama yang menjadi tujuan utama kehidupan bermasyarakat.
Yang kedua : Inhuman
Inhuman berarti “tidak manusiawi” atau tidak memiliki kualitas yang diharapkan dari manusia, seperti belas kasihan, empati, dan moralitas. Jika merujuk pada tindakan manusiawi, Inhuman berarti tindakan yang tidak manusiawi karena melanggar nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam hubungannya dengan korupsi; dapat dikategorikan sebagai inhuman, karena merugikan banyak orang, terutama masyarakat kecil yang seharusnya menerima manfaat dari dana publik yang disalahgunakan. Inhuman juga bisa merujuk pada tindakan kejam (misalnya, tindakan inhuman dalam perang) atau sesuatu yang tidak memiliki karakteristik manusia sama sekali (misalnya, makhluk asing atau robot yang tidak memiliki emosi manusia).
Yang ketiga : Subhuman
Secara harafiah, subhuman berarti “di bawah manusia” dan sering digunakan dalam konteks merendahkan martabat seseorang atau kelompok tertentu. Dalam sejarah, istilah ini digunakan secara negatif untuk merendahkan orang-orang yang dianggap kurang bernilai atau tidak beradab, sering kali dalam konteks propaganda rasis atau eugenika. Secara biologis atau etis, bisa merujuk pada makhluk yang belum mencapai kesadaran manusiawi sepenuhnya.
Dalam kaitannya dengan korupsi; tindakan korupsi dapat dikatakan subhuman, karena pelakunya menurunkan dirinya sendiri ke tingkat yang lebih rendah dari standar manusia yang bermoral.
Sumbangan Pemikiran Rocky Gerung yang menghubungkan Tindakan Korupsi dan Subhuman
Rocky Gerung pernah mengomentari bahwa “orang yang melakukan korupsi (koruptor), tindakannya itu menempatkan dirinya di bawah binatang, karena binatang, jika sudah kenyang, dia tidur, sementara manusia, sudah kenyang malah masih makan tambah lagi (alias mencuri).”
Pernyataan Rocky Gerung di atas, menegaskan bahwa koruptor bertindak lebih buruk daripada binatang karena kerakusan mereka tidak mengenal batas. Jika binatang hanya makan untuk bertahan hidup, manusia yang korup justru terus menumpuk kekayaan meskipun sudah berlebihan, tanpa peduli pada penderitaan orang lain.
Yang keempat : Bestial
Bestial berasal dari kata beast (binatang), berarti memiliki sifat seperti binatang, terutama dalam hal insting primitif seperti kekerasan, nafsu, atau ketidakterkendalian. istilah ini digunakan untuk menggambarkan perilaku yang kasar, tidak beradab, atau liar, seperti tindakan kekejaman yang ekstrem.
Dalam hubungannya dengan korupsi; bisa dianggap bestial ketika dilakukan secara serakah dan tanpa rasa empati, seperti predator yang memangsa korbannya.
Sumbangan Pemikiran Juveval terhadap Korupsi
Konsep Panem et Circenses (Roti dan Sirkus) dari Juvenal juga dapat menjelaskan mengapa korupsi terus terjadi. Juvenal menggambarkan bagaimana penguasa Romawi menjaga rakyat tetap pasif (Kaum Plebeian) dengan memberikan mereka makanan dan hiburan, sehingga mereka tidak berpikir kritis tentang ketidakadilan yang terjadi. Tindakan para Pembesar Romawi itu tergolong diskriminatif karena kelompok sasarnya hanya Kaum Plebeian selain Kaum Aristokrat (yang disebut Kaum Patrician).
Dalam konteks modern, korupsi sering kali berakar dari pola pikir yang mengutamakan kesenangan instan (hedonist) dan mengabaikan nilai-nilai moral serta tanggung jawab sosial.
Jika masyarakat lebih peduli pada hiburan dan konsumsi tanpa memperhatikan kebijakan dan tindakan para pemimpin, maka sistem korup akan terus bertahan.
Sumbangan Pemikiran Hannah Arendt terhadap Korupsi
Hannah Arendt dalam konsep Banalitas Kejahatan (The Banality of Evil) juga memberikan wawasan tentang bagaimana korupsi bisa menjadi hal yang biasa dan diterima dalam masyarakat. Menurutnya, kejahatan besar sering kali terjadi bukan karena pelakunya memiliki niat jahat yang luar biasa, tetapi karena mereka tidak berpikir—mereka hanya mengikuti arus tanpa mempertimbangkan dampak moral dari tindakan mereka.
Dalam kasus korupsi, banyak pelaku yang melakukan kejahatan (tidak berpikir sebagai penyebab) karena telah kehilangan hati nurani dan tidak lagi melihat tindakan mereka sebagai sesuatu yang salah. Mereka terjebak dalam sistem yang membuat korupsi tampak normal dan bahkan diperlukan untuk bertahan hidup dalam lingkungan birokrasi yang korup.
Kesimpulan
Korupsi bukan hanya masalah hukum dan ekonomi, tetapi juga masalah moral dan psikologis.
Dari perspektif Freud, korupsi terjadi karena dominasi ID yang tidak dikendalikan oleh Superego.
Dari sudut pandang filsafat, korupsi bertentangan dengan konsep eudaimonia Aristoteles karena menghambat pencapaian kebahagiaan bersama yang berbasis kebajikan.
Dalam konteks Panem et Circenses Juvenal, korupsi berkembang karena masyarakat tidak berpikir kritis dan lebih mengutamakan hiburan.
Sementara itu, Hannah Arendt menunjukkan bahwa korupsi adalah bentuk banalitas kejahatan, di mana orang melakukannya tanpa berpikir dan tanpa mempertimbangkan dampak moralnya.
Jika ditinjau dari konsep epithuman hingga bestial, korupsi lebih dekat dengan inhuman, subhuman, dan bahkan bestial, karena mencerminkan degradasi nilai-nilai manusiawi yang luhur.
Koruptor, dengan kerakusan dan ketumpulannya terhadap penderitaan orang lain, bahkan lebih buruk dari binatang yang hanya makan sekadar memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi tidak hanya memerlukan tindakan hukum yang tegas, tetapi juga revolusi moral dan budaya berpikir kritis di masyarakat.
Penulis : Yudel Neno, Pr